5 Hal Esensial Tentang Refleksi Hidup, Pilihan, dan Keyakinan di Novel Dongeng Kucing

Awalnya saya bertanya-tanya, mengapa ada catatan “Sebaiknya dibaca dalam bimbingan orang tua...” di lembar pertama novel Dongeng Kucing milik Boy Candra.

Sederet terkaan muncul di kepala, apalagi kalau diamati dari judulnya bacaan ini tergolong aman saja untuk dikonsumsi beragam usia. Toh, ini tentang kucing kan?

Asumsi dan tebak-tebakan saya menagih untuk menemui jawaban. Tentu saja saya mesti melahap habis novel ini barulah tahu kenapa penulis membubuhi peringatan seperti itu tepat lembar depan setelah tabel daftar isi.

Ternyata meskipun tema utamanya adalah kehidupan kucing, tapi di dalamnya berisi sisi gelap kehidupan manusia yang justru lebih kusut daripada perkara kucing-kucing liar. Kucing-kucing yang suka mencuri stok makanan manusia, suka menggerogoti sudut-sudut ruangan, tirai, ternyata hidup manusia lebih runyam dari pada sekadar aktivitas bertahan hidup hewan berkaki empat itu.

Selain sisi gelap kehidupan manusia, ada juga hal-hal yang memang butuh pemaknaan lebih dan anak-anak umumnya belum mampu. Jadi, para ortu mesti memperhatikan apa saja bacaan yang dikonsumsi anak-anaknya. Karena nggak semua penulis mau repot-repot membubuhi kalimat itu sebagai bentuk kewaspadaan.

Beberapa nama karakter yang akan berseliweran di dalam tulisan ini pun menjadi tokoh sentral penggerak cerita. Ada si Gaura (kucing putih betina ibu dari Bobin dan Kiti Pengkor), lalu ada si Kucing Putih betina dengan tanda hitam berbentuk bulan sabit di kening (dinamai si Kiti Pengkor), ada Kucing Hitam jantan dengan tanda putih berbentuk bintang di kening (dinamai Bobin), Pak Ghost, Bu Merti, Si Tikus Tua, Manusa Ruko dan Manusia Asing.

Sebagai hasil telaah selama membaca, saya kemudian meresapi 5 hal paling esensial dari novel Dongeng Kucing;

Kebahagiaan Kita Tanggung Jawab Siapa?

Cerita dibuka oleh kehidupan sekelompok hewan di kolong ruas jalan tol. Kalian bisa kebayang pastinya ya hewan apa saja yang biasa berkoloni, dan berkembang  biak di sana. Fokus cerita ada pada seekor kucing betina, Gaura namanya. Kemurungan dan kesedihannya setelah ditinggal bapak dan ibunya (Pak Ghost dan Bu Merti) menjadi murung dan kehilangan semangat hidup.

Gaura hidup bersama koloni hewan dan seekor tikus tua, kasih sayang mereka melebihi orang tua kandung. Itu terlihat dari tanggung jawab mereka memenuhi semua kebutuhan Gaura. Suatu hari Gaura dikenalkan ke seekor kucing Jantan, Pablo namanya. Perkenalan yang nampaknya berhasil menggugah hati kucing putih betina itu. Semangat Gaura muncul lagi, tapi sayangnya tidak berlangsung lama dan menjadi awal fase hidupnya yang sama sekali berbeda.

Hari-hari Gaura terlanjur ditutupi cinta buta, dia yang tadinya apatis menjadi sangat bergantung ke Si Pablo, kucing hitam tengil itu. Andai saja Gaura tidak menjejali tanggung jawab kebahagiaannya ke pihak lain tentu tidak begitu jatuh dirinya.

Novel ini mengajarkan bahwa kita sendirilah yang memiliki kontrol penuh atas kebahagiaan kita, dan kita tidak bisa bergantung pada orang lain untuk menciptakannya.

Kebaikan Tidak Hanya Dari Sekandung

“Family isn’t always blood. It’s the people in your life who want you in theirs; the ones who accept you for who you are. The ones who would do anything to see you smile, and who love you no matter what.” — Maya Angelou

Dalam rajutan cerita, Dongeng Kucing mempertontonkan banyak hal tentang bersikap baik. Seperti apa yang dilakukan sekelompok hewan di bawah jalan tol, si tikus tua dengan dedikasinya, berang-berang, mereka tidak pernah persoalkan apakah saudara sekandung atau tidak. Tapi bagaimana menjalin hidup yang harmonis meskipun tidak dalam satu garis keturunan. Mereka tidak ragu untuk berbagi makanan, perhatian, kasih sayang kepada siapa pun yang ada di kolong jalan tol.

Penulis seperti mencoba menyontohkan kalau kita manusia yang katanya makhluk dengan kasta tertinggi di bumi justru baku hantam dengan saudara. Ini menjadi pekerjaan rumah panjang buat kita untuk bisa mencari akar kekusutan dan menjadi individu yang senang dengan kedamaian.

Meskipun pada prakteknya tak semudah itu karena manusia terkadang masih sibuk dengan ego masing-masing dan membiarkannya tumbuh subur.

Kelekatan emosional dengan orang-orang di luar keluarga inti bisa memberikan manfaat yang sama besarnya seperti hubungan keluarga sedarah. Ini menegaskan bahwa makna keluarga dan kebaikan tidak terbatas pada hubungan biologis.

Hidup Menyajikan Beragam Pilihan

“Life is a matter of choices, and every choice you make makes you.” — John C. Maxwell

Mau berdiam diri di zona nyaman atau melakukan yang sama sekali berbeda, keduanya adalah pilihan. Seperti halnya Bobin dan Kiti Pengkor mereka sempat terbuai nikmatnya tinggal di bawah asuhan pemilik pet shop.

Mau makan tinggal buka mulut, mau tidur tinggal merebahkan diri di atas bantal empuk. Hidup yang sepertinya impian bagi mereka yang terbiasa hidup berkawan dengan alam.

Bobin dan Kiti Pengkor sepakar memilih ‘keluar’ dari itu semua kenyamanan dari Manusia Ruko dan kembali ke kehidupan yang sudah membesarkan mereka.

Ketika yang Tersisa Hanya Keyakinan

Ada momen dalam novel ini di mana tokoh harus terus berjalan meski harapan tampak memudar. Boy Candra menggambarkan keyakinan sebagai satu-satunya hal yang tersisa saat semua pintu tampak tertutup. Keyakinan, dalam konteks ini, bukan hanya soal spiritualitas, tetapi juga keyakinan pada diri sendiri, pada tujuan, dan pada proses kehidupan.

Faith is taking the first step even when you don’t see the whole staircase.” — Martin Luther King Jr.

Inilah jalan yang dipilih Bobin saat dipisahkan dari saudarinya. Dia percaya kalau keadaan akhirnya bisa bersahabat meskipun awalnya terlihat begitu menantang dan sempat membuatnya ragu untuk melangkah maju.

Cerita yang disajikan penulis di Bab 17, 18, 19 betul-betul di luar nalar. Bagaimana manusia bisa begitu berdarah dingin membunuhi kucing-kucing. Bobin hampir saja jadi salah satu dari sasaran si Manusia Asing yang brutal.

Percaya Pada Lingkaran Takdir

Dongeng Kucing mengajak kita untuk merenungi konsep takdir dan bagaimana segala sesuatu di dunia ini saling terkait. Boy Candra membangun narasi di mana takdir membawa tokoh-tokoh pada pertemuan yang tidak terduga, keputusan-keputusan kecil yang ternyata mengubah jalan hidup. Hal ini mengingatkan kita pada konsep butterfly effect, di mana satu tindakan kecil dapat mempengaruhi kejadian besar di masa depan. Meskipun takdir tampak mengendalikan, novel ini juga memberi ruang bagi tokoh-tokoh untuk mengambil keputusan yang pada akhirnya memberikan yang terbaik bagi jalan hidup mereka.

Bagi saya, dengan mendedah lima poin tersebut menjadikan Dongeng Kucing bukan hanya sekadar sebuah cerita, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehidupan, pilihan, dan hubungan antar manusia. Boy Candra berhasil menggambarkan nuansa emosional yang menohok melalui setiap tema yang dihadirkan, menjadikannya novel yang kaya akan renungan dan pembelajaran bagi pembacanya.

Leave a Comment