Jurnalmega.com, Daster berkibar, jadi bagian pembuka yang langsung menggelitik rasa ingin tahu saya sebagai pembaca. Meskipun tak ada pembahasan atau cerita khusus tentang daster dalam cerpen yang ditulisnya. Daster hanyalah saksi bisu saat Mbak Darma menyelesaikan cerpen demi cerpennya. Betul-betul jenis pakaian ikonik para ibu rumah tangga. Ibu yang ingin tetap berkarya diantara setumpuk tanggung jawabnnya sebagai orangtua dan istri.
Baca juga : Ulasan Novel Orang-Orang Biasa
Buku ini mengingatkan saya akan kata-kata Mbak Darmawati Majid dalam suatu sesi sharing di Instagram Live-nya beberapa pekan lalu, “Menulislah dari sesuatu yang dekat denganmu.” Kata-kata yang dibuktikan sendiri.
Sebagian besar tulisannya berlatar budaya perempuan Bugis-Makassar tempatnya menetap kala itu.
Sebagai pembaca, saya begitu menikmati tiap cerita yang disuguhkan. Apiknya alur maju mundur, tokoh yang ditampilkan begitu hidup, dikemas dalam diksi dan dialog yang kadang menyentil. Dag dig dug kalau sudah mendekati dua paragraf terakhir karena di situlah letak ending yang tak tertebak.
Isu sosial amat terasa di dalamnya. Saya yang berasal dari Bali, jadi ikut merasakan bagaimana perempuan Bugis-Makassar menjalani kehidupan yang dengan tetap patuh menjalani adat budaya mereka. Meskipun tak selamanya sejalan dengan keinginan diri.
Berikut lima cerpen favorit saya dan ulasannya :
Nasu Likku
Cerpen ini pun dijuli serupa. Nasu Likku adalah panganan khas Bugis. Ini merupakan menu ayam masak lengkuas. Sekilas seperti ayam bumbu kuning, tapi rasanya lebih meresap dan sedikit berkuah. Aromanya jangan ditanya betapa nikmatnya. Kuliner berbahan dasar ayam dan lengkuas (laos) ini merupakan sajian khas saat Lebaran.
Dialog terfavorit saya di cerpen ini adalah saat Nurma menanyakan takaran resep.
“Nurma tak pernah membenci satu kata pun dalam hidupnya sampai ia menemukan kata ‘secukupnya’. Sialnya, kata itu muncul di banyak resep.”
Diksi itu menjadi favorit saya, bagaimana tidak, saya turut merasakan rasa sebal di hati Nurma. Ungkapan yang pasti pernah juga dirasakan oleh kami para perempuan saat berada di dapur, berhadapan dengan beragam bumbu masakan.
Meski demikian, memasak juga merupakan kodrat yang harus dijalani seorang perempuan. Memasak bukan hanya tentang menyuguhkan makanan namun curahan perhatian dan kasih sayang pada keluarga yang membersamai.
Tentu ada kebanggaan selain dari keberhasilan menyelesaikan masakan yang sudah diniatkan entah seberapa usaha dan berantakannya rupa dapur kala itu.
Baca juga : Alasan Tulisan Tidak Pernah Tamat
Kak Sulaeman
Cerpen ini yang akhirnya mengantar saya berjumpa dengan Mbak Darma di Bali 2018 lalu. Meski saat itu belum berani bertegur sapa tapi saya tetap kagum padanya. Mbak Darma terpilih menjadi Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2018 yang diselenggarakan di Ubud. Penggalan cerpen itu sempat dibacanya. Menjadikan Kak Sulaeman begitu melekat di ingatan.
Cerpen yang menceritakan kedekatan hubungan antara kakak laki-laki dan adik perempuannya. Sang kakak yang begitu penyayang, menjadi seseorang yang begitu mengerti dan dibutuhkan sang adik. Masa-masa bersama sang kakak menjadi masa indah. Namun, bencana di laut kala itu membuat seorang adik harus merelakan kakaknya direnggut oleh alam tanpa meninggalkan jejak apapun.
“Betul ada aroma yang bisa melemparmu ke masa lalu. Seketika, tanpa ia perlu berusaha. Hanya menanti liukan sepoi angin mengembuskannya ke indra penciumanmu. Aroma yang begitu kau menciumnya, mampu membantu termenung sesaat tapi tak memberimu kesempatan untuk mengantisipasi efeknya.”
Darma membawa realita tentang ingatan ke dalam tulisannya. Bahwa benar adanya aroma bisa menjadi salah satu pematik yang membawa ingatan kita pada seseorang atau tempat tertentu.
Kenangan bercokol di hippocampus. Untuk lupa, dibutuhkan tahun-tahun yang berat, karena yang kau lawan adalah dirimu sendiri. Meskipun sepuluh tahun tlah berlalu.
Losari
Membacanya membuat saya tahu tentang uang panaik. Uang / biaya pernikahan dalam adat Bugis-Makassar, diberikan untuk pengantin perempuan, besarannya disepakati oleh kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.
Kenyataan yang membuat Anto harus rela kehilangan gadisnya Ida.
Dia yang kala itu belum mampu memenuhi permintaan orangtua Ida tentang uang panaik seratus lima puluh juta. Jumlah yang teramat besar baginya saat itu. Membuatnya rela bekerja keras demi mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Tujuh tahun kemudian Anto kembali ke tempat yang sama. Tempat ia hendak melamar gadisnya, namun dia telah menjadi milik lelaki lain. Ida dinikahkan oleh seseorang, kemudian dibawa pindah oleh suaminya ke kota Surabaya.
Keputusan yang diambil Ayah Ida karena dia tak sanggup lagi mendengar gunjingan tetangga tentang anak perempuannya yang jadi perawan tua. Anto kembali membawa luka hati, dia dan Ida berakar di tanah di mana status kebangsawanan tak luput diperhitungkan.
Elegi Praha
Setting Praha yang dipilih Darma berhasil membuat khayalan saya melayang ke tempat yang belum pernah saya kunjungi itu. Tentang megahnya bangunan gereja St. Nicholas, berdiri di Charles Bridge, menikmati indahnya sungai Vltava, menyusuri Old Town Square, mencicipi thrdlo, roti khas Ceko, sampai kisah cinta tak berujung seperti yang dialami Chris dan Xena.
Pertemuan pertama yang begitu mengesankan keduanya menjadi awal cerita cinta rumit mereka dimulai. Berani mencintai berani pula menangaggung akibatnya. Rasa pedih yang dirasakan Xena, kebingungan yang membelenggu Chris menjadi satu bukti bahwa cinta tak selamanya indah. Cinta kadang menyudutkan diri pada pilihan yang sebenarnya tak ingin diambil, dengan akhir yang sulit ditebak.
Kumcer Berlatar Budaya
Nasu Likku merupakan panganan atau masakan khas mereka yang bermukim di Makassar. Ide yang sederhana namun tereksekusi dengan baik oleh sang empunya.
Darmawati Majid berhasil menata cerita yang kemudian melahirkan makna terutama bagi kita kaum perempuan. Realita urusan dapur, kasur, sumur tampak nyata dari kehidupan perempuan itu. Selain itu percik percintaan yang terbentur adat istiadat jadi bagian yang menyedot perhatian.
Bagaimana bisa di masa yang dirahai oleh digitalisasi namun kungkungan adat masih membelenggu gerak para perempuan itu. Terima kasih Mbak Darma sudah menuangkan realita ini dengan begitu apik. Ditunggu karya berikutnya.
Baca juga : Ulasan Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga
Saya setuju dengan ungkapan seorang teman yang juga penulis cerpen. Dia menyebut kalau cara menyampaikan sebuah cerita itu adalah koentji keberhasilan sebuah cerpen.
Meski diawali oleh ide sederhana, namun jika si penulis lihai menyampaikan maka cerpen ini akan jadi hidangan sedap, sesedap aroma Nasu Likku di saat Lebaran.
Detail Buku
Judul : Kumpulan Cerpen Nasu Likku dan Sajian Lainnya
Penulis : Darmawati Majid
Cetakan : 2017
Penerbit : Ideas Publishing, Gorontalo
Halaman : 104
ISBN: 978–602–6635-61-7
1 thought on “Memaknai Kumpulan Cerita Pendek Nasu Likku”