jurnalmega.com, Buku ini berkisah tentang kehidupan seorang ibu bernama Haniyah dan anak perempuan semata wayangnya, Ala. Sepeninggal suaminya, Haniyah dan Ala tinggal berdua di rumah tua mereka, rumah Teteruga namanya.
Di sinilah segala cerita bermula. Di sebuah rumah yang sudah berdiri ratusan tahun, namun tetap kuat, kokoh, dan syarat misteri.
Rumah Teteruga adalah peninggalan dari buyut Ala. Rumah tersebut merupakan bekas penginapan milik Arumba nenek buyut Ala, kemudian diwariskan pada Mariba, nenek Ala. Mariba lalu mewariskannya kembali kepada Haniyah, Ibu Ala.
Ada hal-hal tak kasat yang membuat rumah itu tetap kuat meski ratusan tahun berlalu.
Si Tokoh Utama – Ala
Ala yang terlahir dengan mata juling membuatnya kerap mendapat ejekan dari teman-teman sekelasnya, bahkan juga dari bu guru wali kelas, Ibu Hijima. Setiap mendapat ejekan dia memandai ejekan itu dengan menggurat angka di bawah ranjang tidurnya. 186 menjadi angka ejekan terakhirnya. Namun, justru di mata kirinya yang juling dan bola matanya berwarna api, mata yang kelak bisa melihat hal-hal yang tak kasat.
Persahabatan Ala dengan Madika Ido seorang arwah anak laki-laki dari zaman penjajahan membawanya pada petualangan misteri yang akhirnya menguak banyak realita termasuk tentang siapa Naf Tikore sebenarnya.
Latar Cerita
Suasana kebun cengkih pada Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga, juga desa nelayan dan suasana tua rumah Teteruga yang dibagun penulis begitu apik. Porsi deskripsi dan narasi dalam cerita terasa pas.
Pembaca senantiasa dibawa ke tempat seting cerita berlangsung. Aroma cengkih, suasana panen, rumah teteruga yang berusia ratusan tahun, sampai sejuknya air perigi yang tak pernah kering di rumah Teteruga. Setting atau latar cerita dibuat sekitar tahun 1950-1990an, Pulau Kampasa, Desa Kon.
Puncak Konflik
Momen mengharukan saat Haniyah datang ke sekolah Ala untuk menemui ibu guru Hijima. Ibu Guru Hijima dulunya adalah teman sekelas Haniyah yang kemudian menjadi wali kelas anaknya. Di luar dugaan justru guru itu yang kerap mengejek Ala di sekolah dan membiarkan teman-teman sekelas mengejek kekurangan di tubuh Ala.
Dialog Kuat yang Syarat Pesan
“Di dunia ini, taka da orang yang lebih baik dari siapa pun. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Kau seorang ibu sekaligus seorang guru, apakah kau ingin anak-nakmu diolok-olok seperti kau mencemooh mata putriku. Bersikaplah sebagai guru dan ibu yang semestinya. Saya seorang ibu yang tidak memakan bangku sekolahan, tetapi saya tidak mengejek siapa pun. Lagipula apa yang salah dengan menjadi juling? Ala selamai ini mendapat olok-olokan Aljul dari teman-temannya, dan Anda sebagai wali kelas membiarkannya.
Di mana rasa belas kasihmu? Harusnya kau hormat meskipun itu anak-anak. Tugasmu sekarang emberitahu anak-anak didikmu supaya berhenti mengolok-olok mata ankku, katakana juga pada mereka haid di usia 11 tahun itu normal, taka da yang salah dengannya, itu hanya semacam pertumbuhan badan. Saya dengar kau juga pernah mencemooh mata putriku, saya tidak mengenali jiwamu, tetapi saya percaya ada kebaikan di sana, kecuali kalau kau memang kejam seperti Guru Ratipa.”
Hal menarik dari Prosa ini
• Prolog yang Memikat
Suasana mencekam tentang kematian sepasang suami istri – Markeba Tikore dan Tago Tikore membuat saya sebagai pembaca memutuskan untuk harus segera menyelesaikan buku ini.
Tanda tanya akibat kematian sepasang suami istri yang kemudian menyeret anak mereka Naf Tikoe menjadi konflik solid yang pembaca tak bisa tinggalkan begitu saja.
• Epilog
Pada prolog adalah seting tahun 1992. Tentang kekecewaan petani cengkih terhdap keputusan pemerintah di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Petani cengkih hanya boleh menjual cengkihnya pada Koperasi Unit Desa (KUD) dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Dan KUD hanya menjual cengkihnya kepada Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkih (BPPC). Ditetapkan cengkih adalah barang dalam pengawasannya.
BPPC adalah lembaga monopoli pengumpul dan pemasaran cengkih Indonesia, didirikan Tommy Soeharto. Terbentuknya BPPC, membuat petani cengkih menderita. BPPC kemudian dibubarkan setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden.
• Pesan moral dari Haniyah, Ibu Ala
Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga syarat akan pesan moral. Dipercayainya Ala terlahir juling karena dia pernah memukul biawak. Ujung bambunya mengenai mata hewan itu. Haniyah kesal lantaran hewan itu kerap memakan telur-telur ayamnya. Sejak saat itu Haniyah mengambil kearifan, dia bertobat dan tidak akan menyakiti hewan, tumbuhan bahkan benda mati sekalipun.
Arumba berkata pada Mariba, “Beri makan setiap orang yang datang, bisa jadi di antara mereka ada malaikat yang menyamar. Mariba menceritakan peristiwa itu kepada Haniyah, dan Haniyah menceritakan kembali kepada Ala.”
Tak boleh bicara saat makan; menurut mereka udara dan angina buruk akan masuk ke dalam perut ketika makan sambil bicara. Itu tak baik dan tak sehat.
Luka benda tajam bisa sembuh, tetapi trauma, luka batin akibat olokan akan selalu kita bawa hingga dewasa, hingga kita tua.
• Tentang Naf Tikore
Di kehidupan ini ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, seperti cerita orang-orang bahwa Naf Tikore yang tidak pergi ke gereja maupun ke masjid, menyembah mokoroimbu – gurita raksasa penghuni lautan yang muncul setahun sekali sehingga permukaan laut bermandi cahaya: orang juga bilang Naf Tikore punya ilmu menghilang, kebal benda tajam, dan dia tidak kawin dengan manusia tetapi memiliki istri dari bangsa jin di rumah kebunnya.
Ala bingung kenapa Naf Tikore diam meski warga desa kerap mencemooh dan memfitnahnya.
Membutuhkan dua jiwa untuk menciptakan hinaan dan kemarahan, jiwa saya tidak ikut dalam bagian itu.
• Ala dan ejekan yang diterimanya
Tiap kali mendapat ejekan Aljul, Ala berhenti sejenak, lalu dia membayangkan mereka menjadi ikan-ikan pelangi, berenang di dalam danau, dan Ala memandang mereka dari tepian. Ketika dia membuka mata, suasana hatinya perlahan membaik.
Rasa sedih yang masih dirasakan Ala kala mengingat ucapan buruk Ibu Guru Hijima tentang mata julingnya di depan teman-teman.
Pantun-pantun dari Pohon Cengkih (Bab 9) penggambaran tentang kebun cengkih yang sederhana namun ciamik. Haniyah memindahkan bibit cengkih sambil mengajak mereka berbicara, “Lubang ini rumahmu. Tumbuhlah dengan sehat berbuahlah yang banyak kelak,” lalu dia menguruknya dengan tanah.
Jika Haniyah mencabut tanaman obat semisal kunyit putih, daun sirih, kumis kucing, pacar cina, atau memetik daun miana dia selalu bicara, “Saya meminta restumu, saya memetikmu, menggunakanmu sebagai obat. Saya ingin kau membantu saya menyembuhkan seseorang.”
Haniyah percaya bahwa tumbuhan juga bisa mendengar dan paham bahasa manusia.
“Tanaman bertenaga-baik membuat manusia yang memakannya berjiwa baik.”
• Deskripsi Desa Kon
Keadaan malam di Desa Kon. Selalu diliputi sunyi. Desa itu adalah desa tuda dengan pohon maja, suku , nyiur, mengkudu di pinggir-pinggir jalan, juga ketapang dan camar laut di tepi timur desa. Udara dingin menggigit di malam hari tetapi di siang hari cuaca panas menyengat, pohon-pohon itu tak mampu meneduhkan desa dari hawa panas siang yang datang dari laut.
Suasana penen raya cengkih
Bagaimana sigapnya Haniyah, Ibu Ala dalam membagi porsi kerja para buruh panen, bagaimana semangat dan cerianya mereka saat memanen cengkih, ada yang naik untuk mematahkan cengkih, ada yang memunguti yang berguguran, ada yang menyiapkan lubang untuk menanam kembali, ada juga Bibi Gebe yang sigap menyiapkan masakan untuk makan para buruh bersama Haniyah dan Ala.
Bagi penggemar Novel Etnografis, ini bisa jadi salah satu pilihan tepat. Meski menurut saya novel ini bisa dibuat lebih panjang dan konflik yang lebih menukik yang menuntut usaha keras si tokoh utama, Ala untuk membereskannya.
Meski begitu, membaca novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga ini berhasil membangkitkan sisi sensitif saya perihal penggambaran alam sekitar dan indra penghidu diajak menikmati aroma pedas cengkih khas wilayah Timur Indonesia.
3 thoughts on “Resensi Novel; Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga”