Ketika memutuskan untuk mengikuti Masterclass Agustinus Wibowo di Ubud Writers & Readers Festival, jujur saya belum tahu banyak tentang sosoknya. Belum ada buku Agustinus yang pernah saya baca. Hanya satu resensi berjudul Kita dan Mereka yang pernah saya baca, ditulis oleh teman di media.
Selain itu, seorang teman di Jakarta yang sudah pernah mengikuti kelasnya memberikan rekomendasi, membuat rasa penasaran saya kian besar. Kelas ini seperti menjanjikan untuk membantu saya mengolah tulisan nonfiksi—dari opini hingga esai—menjadi lebih segar, mengalir, dan jauh dari kesan kering dan membosankan.
Akhirnya, berbekal rasa penasaran dan kebutuhan yang semakin mendesak untuk meningkatkan keterampilan menulis, saya pun mendaftar di sesi “Crafting Reality: Creative Non-Fiction Writing Workshop.” Kelas ini berlangsung selama tiga jam di Plataran Ubud Hotel & Resort pada hari pertama Ubud Writers and Readers Festival, 24 Oktober 2024. Beberapa menit setelah sesi berjalan, saya langsung merasa bahwa keputusan untuk bergabung adalah tepat.
Dari Ide, Outline, sampai Storytelling
Agustinus memulai dengan topik yang sering kali menjadi keluhan tentang tulisan nonfiksi: dianggap terlalu kaku, kurang emosional, dan bahkan kadang terlalu ‘faktual.’ Banyak pembaca yang lebih memilih tulisan fiksi karena bisa membawa mereka larut dalam emosi dan imajinasi. Agustinus mengatakan kalau nonfiksi juga bisa tampil menarik dan bahkan menggugah emosi.
Cara penyampaiannya yang tenang namun penuh makna berhasil menggerakkan para peserta untuk berpikir ulang: Apakah selama ini kita yang membatasi diri kita kalau tulisan nonfiksi itu kering, kaku, dan begitu ‘serius’?
Selama kelas, Agustinus mengajak kami untuk menyadari betapa banyak yang bisa dilakukan untuk menghadirkan nonfiksi yang lebih hidup. Ada langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan, mulai dari menentukan ide, menyusun tema, merancang premis, hingga membuat outline. Ide utama yang saya dapatkan di sini adalah pentingnya pengelolaan gagasan sejak tahap awal. Setelah memilah tema yang mau kita angkat, lalu kemudian mencari padanan tema tulisan tersebut dengan kata benda abstrak.
Setelah itu barulah kita menjabarkan dengan runut bagian-bagian yang mau ditulis dalam satu bagan outline yang runut. Sah saja untuk mengedit outline, asalkan beralasan dan berpijak pada tujuan tulisan.
Agustinus menekankan bahwa tulisan nonfiksi yang baik tak hanya soal data atau fakta yang kuat, tetapi juga cara kita mengemasnya menjadi sesuatu yang menarik bagi pembaca. Dengan storytelling yang tepat, nonfiksi pun bisa berfungsi layaknya fiksi yang mengalir dan memikat.
Menghidupkan Tulisan dari Pancaindra
“Nonfiksi bisa terasa sama hidupnya dengan fiksi, selama penulis mampu menangkap detail dan menghidupkan narasi.”
Agustinus juga menunjukkan cara untuk lebih menggali materi dan menyusunnya dengan sudut pandang yang segar dan mendalam. Di sinilah saya mulai menyadari bahwa mengemas nonfiksi juga perlu perencanaan yang matang. Setiap ide perlu dikelompokkan, kemudian disaring sesuai prioritas dan relevansinya. Langkah berikutnya adalah merancang outline, yang membantu kita mengatur struktur dan alur cerita agar tidak bertele-tele. Saya rasa metode yang diberikan Agustinus membuat nonfiksi terasa lebih sederhana namun tetap berbobot.
Bagi saya bagian paling menarik dari kelas ini adalah ketika Agustinus membahas soal pancaindra. Ditegaskan pentingnya menghadirkan pengalaman yang nyata dalam tulisan dengan mengaktifkan semua indera kita—mulai dari melihat, mendengar, mencium, merasakan, hingga menyentuh. Agustinus percaya bahwa tulisan yang “bernyawa” berasal dari pengalaman konkret yang dirasakan, bukan sekadar informasi yang diungkapkan.
Saya sangat setuju dengan pendekatan ini. Mengaktifkan pancaindra dalam tulisan membantu kita menghadirkan dunia nyata ke dalam tulisan, memberikan dimensi personal yang bisa membuat pembaca merasa lebih terhubung dengan apa yang kita sampaikan.
Pendekatan Kreatif Dalam Tulisan Nonfiksi
Di akhir kelas, saya sadar kalau menghadirkan sisi kreatif dalam tulisan nonfiksi sangatlah mungkin. Bahkan, pendekatan ini menjadi semakin penting di era di mana semua orang dibanjiri padat dan heterogennya informasi setiap hari.
Tulisan nonfiksi yang jernih, faktual, dan menyentuh dapat menjadi oase yang menyegarkan bagi pembaca. Agustinus Wibowo telah memberikan saya perspektif baru dan keterampilan praktis yang akan sangat bermanfaat, tidak hanya untuk tulisan saya, tetapi juga untuk menginspirasi para pembaca saya.
Kalau kalian memang tertarik menulis nonfiksi seperti saya, kelas Agustinus Wibowo patut dimasukkan dalam rancangan menulis kalian. Saat menulis esai opini ini, saya baru saja mulai membaca buku Titik Nol karyanya.
Jurnal perjalanannya saat berkelana ke negeri Mongol itu terasa seperti membaca novel. Saya bisa ikut merasakan sesaknya Agustinus saat berada di dalam kereta api selama 43 jam dari Beijing menuju Urumqi. Ikut merasakan pengap saat dia menulis tentang badai pasir yang debunya memenuhi gerbong kereta. Bagaimana malunya dia ketika tersandung tali sepatunya sendiri, sampai-sampai tiga bungkus mie instannya berhamburan dari kantong plastik yang dibawanya.
Membuat tulisan nonfiksi yang memikat memang butuh usaha lebih, tapi dengan fondasi yang kuat seperti menentukan ide, membuat outline, hingga menghadirkan pengalaman dengan pancaindra, kita bisa membawa tulisan kita ke level yang lebih tinggi.
Nonfiksi bukanlah sekadar penyampaian fakta, tetapi juga tentang menyampaikan rasa, menembus batas-batas kaku, dan pada akhirnya menciptakan kedekatan dengan pembaca.
Yuk, luangkan waktu untuk belajar dan berlatih, rasakan sendiri lewat praktik bagaimana tulisan nonfiksi yang hidup bisa memberikan makna lebih bagi penulis maupun pembacanya.