Museum Le Mayeur di Sanur, Bali, menyimpan kisah cinta dan seni yang melegenda. Museum ini diambil dari nama seorang pelukis asal Belgia, Adrien Jean Le Mayeur de Merpres. Berdiri sejak 67 tahun lalu, museum ini menjadi saksi bisu pertemuan sang seniman dengan seorang penari legong asal Desa Kelandis, Denpasar, bernama Ni Pollok.
Pertemuan mereka pada 1931 menginspirasi Le Mayeur untuk menjadikan Ni Pollok sebagai model lukisannya. Hubungan mereka pun berkembang, hingga akhirnya menikah pada 1935. Mereka hidup layaknya pasangan seniman: Le Mayeur sebagai pelukis, sementara Ni Pollok tetap menjadi model dalam setiap karyanya. Namun, di balik kisah romansa mereka, ada sisi lain yang perlu dikaji lebih dalam: bagaimana patriarki membentuk kehidupan Ni Pollok dan bagaimana ia menjadi simbol objek estetis dalam relasi ini.
Museum Le Mayeur: Ditinggalkan Waktu?

Ketika pertama kali mengunjungi Museum Le Mayeur pada Juni 2022, saya merasa miris melihat kondisinya. Aroma apek bercampur debu menyambut siapa pun yang melangkah masuk. Bingkai lukisan mulai memudar, lantai berdebu, dan suasana terasa kurang terawat. Apakah ini akibat usia, dampak pandemi, atau karena Le Mayeur dan Ni Pollok tidak memiliki keturunan yang bisa merawat warisan mereka?
Sejak menikah, Ni Pollok diminta menjaga kebugaran dan kecantikannya. Bagi Le Mayeur, memiliki anak dianggap akan menghambatnya. Kehamilan dan mengurus anak dinilai akan mengubah tubuh dan energi istrinya, yang selama ini menjadi objek estetis dalam lukisannya. Sayangnya, dalam sistem patriarki yang kuat, Ni Pollok tak bisa menentang keinginan suaminya. Sebagai perempuan Bali yang telah menikah, ia sepenuhnya menjadi milik suaminya.
Ni Pollok dan Realitas Patriarki

Menurut Alfred Adler dalam bukunya Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan, patriarki membuat perempuan kehilangan kendali atas hidupnya. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk bertumbuh, tetapi justru ditekan untuk tetap berada dalam standar yang ditentukan masyarakat.
Jika keputusan childfree adalah hasil kesepakatan mereka berdua, maka itu adalah pilihan sadar. Namun, dalam kasus Ni Pollok, perbedaan usia 37 tahun dan ketidakseimbangan kuasa membuatnya tak punya ruang negosiasi. Ia masih berusia 18 tahun saat dinikahi Le Mayeur—usia yang sangat muda untuk memahami konsekuensi hidup tanpa keturunan.
Ni Pollok: Representasi Objek Estetis?

Jurnalis dan penulis asal Swiss, Mona Chollet, menyebut bahwa perempuan sering kali mereduksi dirinya pada penampilan fisik, tanpa menyadari bahwa nilai kecantikan yang mereka yakini adalah hasil konstruksi budaya yang misoginis.
Ni Pollok menjadi contoh nyata bagaimana tubuh perempuan dijadikan aset seni, tetapi bukan sebagai individu yang memiliki kehendak bebas. Perspektif feminisme fenomenologis yang dikembangkan Camille Froidevaux-Metterie melihat bahwa perempuan sering kali mengaitkan harga dirinya dengan kecantikan. Masyarakat menuntut perempuan untuk selalu tampil ideal, sesuai standar estetika yang ditentukan pihak lain.
Mitos Kesempurnaan dan Standar Feminitas
Psikoanalis Clara Thompson menegaskan bahwa masyarakat patriarkal menanamkan mitos kesempurnaan pada perempuan. Standar ini mencakup karakter fisik, sikap, dan perilaku yang dianggap ideal, seperti menjadi istri yang patuh, tetap cantik, dan tidak menyuarakan keinginan sendiri.
Dalam kasus Ni Pollok, ia tidak hanya menjadi model dalam lukisan suaminya, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Tubuhnya menjadi potongan estetis yang harus dijaga sesuai keinginan Le Mayeur. Standar kecantikan ini membuat perempuan merasa harus memenuhi ekspektasi yang sebenarnya tidak realistis.
Apakah Ni Pollok Terjebak dalam Hubungan Toksik?

Psikolog Carol D. Ryff menekankan bahwa self-discovery membantu perempuan keluar dari hubungan yang tidak sehat. Dalam dunia yang sering kali membentuk perempuan untuk menjadi ‘cantik dan patuh’, menemukan identitas diri menjadi kunci untuk membebaskan diri dari tekanan sosial.
Apakah Ni Pollok benar-benar bahagia dalam pernikahannya? Ataukah ia hanya mengikuti arus karena tidak memiliki pilihan lain? Ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab jika kita melihatnya dari perspektif kebebasan perempuan dalam memilih jalan hidupnya.
Andai Ni Pollok Seberani Kartini

Ni Pollok hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang hidup dalam bayang-bayang patriarki. Andai ia memiliki keberanian untuk menuliskan kisahnya, seperti Kartini yang menumpahkan kegelisahannya dalam surat-suratnya, mungkin kita bisa lebih memahami sisi emosional dan perjuangannya.
Namun, perbedaan latar belakang dan pendidikan membentuk keduanya dengan cara yang berbeda. Kartini memiliki akses pada literasi dan jejaring yang mendukung perjuangannya, sementara Ni Pollok hidup dalam budaya yang menuntut kepatuhan.
Kesimpulan: Menafsirkan Ulang Kisah Ni Pollok

Museum Le Mayeur tidak hanya menyimpan karya seni, tetapi juga kisah yang layak direnungkan. Apakah Ni Pollok adalah bukti cinta sang pelukis, atau hanya objek estetis yang dipertahankan demi kepentingan seni?
Pada akhirnya, perempuan berhak mendefinisikan dirinya sendiri, terlepas dari tuntutan masyarakat. Kisah Ni Pollok seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua bahwa perempuan bukan sekadar objek keindahan, tetapi individu yang memiliki kehendak dan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di omong-omong.com pada 6 August 2022.