Seniman Wayang Kamasan: Bertahan atau Punah?

Apa jadinya jika sebuah seni punah hanya karena tak ada yang meneruskannya? Satu hal yang terlintas di pikiran saya sepulang dari kunjungan ke Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung pekan lalu.

Banjar Sangging dikenal sebagai pusat utama para seniman yang melestarikan seni lukis Wayang Kamasan. Nama “Sangging” berasal dari kata dalam bahasa Bali yang berarti pengukir atau pelukis. Selain pelukis, ada juga pengrajin emas dan perak yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Klungkung.

Hari itu saya dan Mba Annie Nugraha berjodoh bisa bertemu dan berbincang dengan I Ketut Madra. Beliau pemilik DOGOL, sebuah artshop di banjar Sangging. Tempat yang kami masuki secara tidak disengaja karena tertarik dengan beberapa pajangan lukisan Wayang Kamasan yang tampak apik dari sisi jalan.

Saat itu Pak Madra ditemani istrinya sedang membuat garapan lukisan. Pak Madra sibuk dengan kain blacu yang menjadi media lukisan. Sedangkan istrinya sedang mengerjakan pewarnaan pada kerajinan berupa tas rotan dengan sketsa lukisan wayang di atasnya.

Sejarah dan Nilai Filosofis Seni Wayang Kamasan

Seni Wayang Kamasan merupakan seni lukis tradisional khas Bali yang berkembang sejak zaman Kerajaan Gelgel (abad ke-14). Berakar dari seni wayang kulit, gaya lukis ini menggunakan teknik pewarnaan alami dan goresan halus di atas kanvas atau kain.

Wayang Kamasan banyak digunakan untuk menghiasi pura, istana, dan lontar sebagai media penyampaian kisah epik seperti Ramayana dan Mahabharata. Pusat perkembangannya berada di Desa Kamasan, Klungkung, yang menjadi ikon seni lukis klasik Bali. Seni ini bukan sekadar lukisan, tetapi juga warisan budaya yang merefleksikan spiritualitas dan nilai-nilai luhur masyarakat Bali.

Namun patut jadi perhatian kita bersama kalau keberadaannya mulai tergerus oleh modernisasi, meskipun beberapa seniman masih berupaya melestarikannya.

Kondisi Terkini: Masihkah Anak Muda Tertarik?

Penelusuran tentang Wayang Kamasan berlanjut. Saya mencoba menghubungi kenalan yang sekiranya tahu lebih banyak tentang perkembangan seni lukis Wayang Kamasan di Klungkung. Kemudian lewat salah satu guru kelab melukis di sekolah anak, saya terhubung dengan salah satu pelukis Wayang Kamasan yang masih eksis sampai hari ini, Pak Ketut Suendra  namanya. Beliau sudah melukis sejak duduk di bangku sekolah dasar di tahun 1975.

Ketekunan melukisnya menghasilkan beragam karya apik. Bersama sang kakak dia melukis sebelum berangkat ke sekolah, sedangkan orang tuanya menekuni kerajinan bokor dari perak dan perunggu.

Dari beliau mengalir banyak cerita tentang pasang – surut menekuni seni lukis. Tepatnya sejak bom Bali pertama di tahun 2002 dan disusul bom Bali kedua di tahun 2005 kedatangan tamu kian berkurang. Tamu yang biasanya banyak datang dari Australia, Jepang, dan Amerika tidak lagi seramai sebelumnya.

Tidak hanya soal jumlah tamu, tapi minat anak-anak muda terhadap Seni Wayang Kamasan juga menunjukkan kelangkaan. “Anak-anak zaman sekarang lebih suka main hape daripada belajar bikin sketsa wayang,” seloroh Pak Suendra dalam obrolan via telpon pekan lalu.

Namun ada masalah yang lebih kompleks dari sekadar peralihan minat, yaitu tentang kepastian finansial yang kuat untuk dijadikan alasan mereka para anak muda termasuk anak-anak kandung Pak Suendra. Mereka lebih memilih bekerja menjadi karyawan swasta, dan anak muda lainnya memilih keluar negeri bekerja di kapal pesiar demi mendapatkan penghasilan tetap di setiap bulannya.

Hal ini disebabkan karena menurunnya pemasaran produk seni wayang Kamasan. Pak Suendra menyebutkan, kalau saat ini bisa dikatakan dia hanya mengandalkan tamu yang berkunjung. Harapan tidak lain supaya lukisan bisa cepat laku dan tidak usang karena lama terpajang.

Pekerjaan rumah para seniman dan pemerintah setempat adalah bagaimana memulihkan tamu-tamu yang datang bisa seperti tahun-tahun sebelum kejadian bom Bali.

Pola Regenerasi Seniman Wayang Kamasan

I Ketut Madra dan Ketut Suendra memiliki harapan serupa tentang masa depan Lukisan Wayang Kamasan khususnya di Desa Kamasan. Meskipun tidak ada dari keturunan Pak Ketut Suendra yang ingin meneruskan minat seninya, toh itu tak menyurutkan semangat dan keinginan besarnya seni ini akan berjaya lagi. Karena baginya Lukisan Wayang Kamasan tidak hanya sebuah seni rupa, tapi jalannya mencari nafkah.

Begitu pula dengan I Ketut Madra, dia menjalankan bisnis turun-temurun dari orang tuanya Nyoman Dogol. Nama Dogol yang kemudian dipatenkan menjadi nama artshop miliknya. Ketut Madra dan istri memiliki tiga orang anak. Anak ketiga mereka, I Komang Gede Anugrah Diatmika ternyata memiliki minat seni lukis yang sama dengan ayahnya.  

Dari sebuah wawancara singkat saya dengan Bli Komang (nama panggilan anak Pak Madra), saya dapati realita bahwa anak-anak muda di Desa Kamasan cenderung memilih bekerja ke luar negeri. Mereka cenderung mencari pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan tetap setiap bulannya.

Sedangkan kalau dari pekerjaan melukis, mereka hanya mengandalkan tamu yang datang dan pesanan. Bisa dikatakan kurang begitu menjanjikan sebuah kepastian finansial.

Bli Komang yang merupakan lulusan Institut Seni Indonesia Denpasar, jurusan Seni Murni di tahun 2022 kali pertama jatuh cinta pada Seni Lukis Kamasan Bali sejak masih menjadi mahasiswa. “Sekitar tahun 2018 kebetulan dapat mata kuliah melukis wayang dari sana awal saya mulai tertarik melukis Wayang Kamasan,” kata Bli Komang.

Minatnya kian menjadi sejak pandemi COVID-19. Pada saat itu kegiatan di rumah dimanfaatkannya untuk melukis. Bli Komang sadar betul tentang besarnya potensi seni lukis Kamasan meskipun tidak banyak peminat dari kalangan anak muda yang mau untuk meneruskan.

Dia khawatir jangan sampai peminat seni lukis Kamasan ini justru lebih banyak dari luar Desa Kamasan tempat seni itu lahir, tumbuh, dan berkembang. Tapi dia juga sadar kalau keinginan setiap orang itu berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Mereka yang mau menekuni seni lukis harus datang dari dirinya.

Andil Pemerintah Atas Seni Wayang Kamasan

Pak Ketut Suendra bercerita tentang kegiatannya bersama 27 rekan seniman yang tergabung dalam perkumpulan Pandan Harum. Mereka secara bergilir dari jam 08.00 – 17.00 diminta untuk tampil mendemonstrasikan melukis Wayang Kamasan secara langsung di depan para tamu bertempat di Kertha Gosa.

Sebuah kegiatan yang diinisiasi Bupati Klungkung periode sebelumnya I Nyoman Suwirta. Pandan Harum beranggotakan 28 orang seniman dari Desa Kamasan yang berjumlah 10 banjar. Mereka melakukan demonstrasi sketch. Kegiatan yang memberikan harapan lukisan mereka bisa laku dan lebih dikenal.

Selain itu, mereka para seniman hanya mengandalkan sosial media mereka masing-masing untuk menggait pasar internasional yang dulu sangat menjanjikan. Saat ini. Pak Ketut Suendra hanya mengandalkan pesanan, dia hanya melukis berdasarkan pesanan pelanggan. Supaya apa yang dibuat sudah pasti laku terjual.

Harapannya di kepemimpinan Bupati yang baru, kegiatan ini bisa berlanjut dengan frekuensi yang lebih banyak. Karena jika tidak dari pemerintah setempat, ke siapa lagi para seniman ini harus menggantungkan harapannya?

Tantangan dan Harapan Masa Depan

Dari pembicaraan dengan dua tokoh Seni Wayang Kamasan ini saya bisa simpulkan kalau orang-orang berjiwa dan berkemampuan seni seperti merekalah yang ‘menghidupkan’ Bali. Apa yang saya tulis mungkin baru mewakili satu jenis seni rupa dari ragamnya seni rupa yang ada.

Tapi dari cerita mereka bisa ditarik kesimpulan, kalau Sumber Daya Manusia masih menjadi aset terbesar dari suatu peradapan. Di antara gempuran AI, di mana setiap pekerjaan bisa dipermudah dengan teknologi yang dibawanya. Tapi, mau tidak mau kita tetap meyakini SDM yang otentik tetap dibutuhkan.

12 thoughts on “Seniman Wayang Kamasan: Bertahan atau Punah?”

  1. Aku sempat kecele baca judulnya. Tadi mikir, “apa ya maksudnya wayang kemasan itu?” eh ternyata bukan kemasan tapi kamasan 🙂

    Walau nggak begitu ngerti seni, aku seneeeeng banget kalau bisa berkunjung ke tempat kayak ini. Sepanjang baca aku tuh degdegan, membayangkan seni wayang ini punah karena gak ada penerus. Eh untungnya anak ketiga mereka punya ketertarikan yang sama dan harapannya bisa meneruskan ya. Untuk kisaran harganya ini rangenya berapaan mbak?

    Reply
    • Kalau harga range ratusan ribu sampai jutaan, Mas. Apalagi kalau pas yang dilukis cukup rumit ya udah pasti dibrandrol tinggi. Setara dengan effort mereka buatnya.

      Reply
    • Bupati era sebelumnya sih udah mengadakan acara rutin di Kertha Gosa. Acaranya berupa showing up pelukis yang melukis langsung yang bisa dilihat langsung para pengunjung. Tapi, Bupati di era yang baru ini masih kita tunggu aksinya untuk seni.

      Reply
  2. Saya baru tahu tentang seni wayang kamasan

    semula saya pikir ada pertunjukannya seperti wayang golek atau wayang kulit, ternyata ini merupakan seni lukis wayang

    Saya berusaha mencari perbedaan wayang kamasan dengan wayang golek dan wayang kulit. Mungkin karena ini seni lukis, sehingga lebih mudah bereksplorasi dan berkreasi di atas canvas ya?

    Reply
  3. Sedih pastinya membaca kisah ini.
    Tapi memang realitanya seperti itu, bekerja/menekuni seni memang tak bisa dipaksakan, panggilan hati.
    Semoga pemerintah tetap memfasilitasi para seniman ini untuk berkarya, atau membentuk wadah untuk mengadakan pelatihan melukis. Siapa tahu setelah mengenal, belajar melukis, jadi ada anak muda yang tergerak untuk menekuni seni wayang kamasan. Seperti anak ke tiga pak Madra

    Reply
  4. Masa bisa berlalu, teknologi bisa berganti dan mampu “mematahkan” kemampuan manusia, tapi keahlian khusus di media istimewa tak akan pernah digantikan oleh AI maupun mesin. Dari sini, setelah kita pulang dari Kamasan, pemikiran akan kelestarian budaya dan skill khusus yang dimiliki oleh Bli I Ketut Madra dan anaknya, akan tetap memiliki nilai yang tak terwakilkan oleh apa pun.

    Aku jadi kepengen deh belajar melukis wayang ini Ga. Pengen mengalokasikan waktu khusus untuk menimba ilmu pada ahlinya. Setidaknya dengan belajar langsung, gak cuma keahlian yang didapatkan tapi juga ikut merasakan bagaimana proses kreatif itu berlangsung. Mudah-mudahan dari belajar langsung seperti ini, aku bisa menuliskan tentang para seniman wayang lukis dengan lebih presisi dan menyentuh hati.

    Reply
  5. Pastinya jadi tantangan memang untuk bisa melestarikan dan meneruskan kesenian ini. Mungkin bisa disosialisasikan juga secara masif di sekolah-sekolah pada saat pelajaran kesenian atau dengan metode unik yang dapat menarik perhatian generasi muda

    Reply
  6. Duh, sedih banget kalau sampai ada warisan budaya yang punah. Sebetulnya, mungkin saja ada anak-anak muda yang mau meneruskan wayang kamasan ini. Anak-anak muda jaman sekarang tuh interest-nya unik-unik. Sayangnya, mereka nggak pada tau karena tinggal jauh dari Bali. Aku aja baru tau, wkwk.

    Perlu promosi dan edukasi biar budaya ini tidak hilang.

    Reply
  7. Apakah produk dari Seni Wayang Kamasan ini hanya untuk dipajang, ka?
    Aku penasaran karena mungkin bisa bekerjasama dengan brand Bali untuk melukis di atas karya seni yang lain.
    Tapi kalau melihat fotonya, rasanya uda yaa.. jadi kipas dan tas.

    Semoga pariwisata Bali kembali ramai dan Seni Wayang Kamasan bisa terus berkembang hingga menjadi oleh-oleh yang utama bagi wisatawan yang berkunjung.

    Reply

Leave a Comment