Home Sweet Loan: Suara Para Pejuang KPR

Bagi kalian yang sedang berjuang untuk memiliki rumah sendiri, kisah Kaluna dalam film Home Sweet Loan pasti terasa begitu dekat dan relatable. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, banyak yang mengira hidupnya akan penuh kenyamanan dan kemudahan. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Kaluna menjadi tempat bertumpunya segala kewajiban dan tanggung jawab keluarga.

Film ini lebih dari sekadar pejuang KPR yang juga menggambarkan perjalanan hidup manusia dengan cara nyata: mereka yang memiliki tekad dan berusaha sungguh-sungguh akan menemukan jalannya. Kaluna adalah bukti bahwa anak bungsu tidak selalu identik dengan sifat manja dan ketidakberdayaan. Sebaliknya, ia berjuang untuk mandiri dan mewujudkan impiannya.

Kaluna: Keberanian untuk Bilang Tidak

“Aku itu di sini cuma numpang ya, Bu?” Ucapan Kaluna kepada ibunya mencerminkan kekecewaan yang mendalam. Sepulang kerja dalam kondisi lelah, ia mendapati kamarnya diacak-acak oleh keponakannya— realita di mana ruang pribadinya yang seharusnya menjadi tempat ternyaman justru diambil tanpa izin.

Menjadi seperti Kaluna adalah berada di posisi yang serba salah. Ia ingin membantu keluarga, tetapi pada saat yang sama, ia sering mengorbankan kenyamanan dan kebutuhannya sendiri. Bahkan, untuk sekadar mengatakan tidak, ia merasa kesulitan. Terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain yang, ironisnya, tidak pernah benar-benar peduli dengan apa yang ia rasakan.

Berangkat dari Niat

Bagi sebagian orang, memiliki rumah mungkin bukan prioritas. Mereka merasa cukup tinggal bersama orang tua atau saudara. Namun, bagi yang lain, memiliki rumah adalah tujuan utama yang diperjuangkan dengan sepenuh tenaga.

Saya pribadi termasuk dalam kategori kedua—tim Kaluna. Berpengalaman hidup nomaden, berpindah dari satu kos ke kos lainnya, hingga pernah diusir dari rumah keluarga sendiri, saya menyadari bahwa memiliki rumah adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Tekad itu muncul bahkan sebelum saya berusia 16 tahun. Saya berjanji kepada diri sendiri bahwa suatu hari nanti, saya harus memiliki rumah agar anak saya tidak mengalami pengalaman pahit seperti yang pernah saya rasakan.

Kaluna juga menginginkan perubahan dalam hidupnya. Dia ingin punya kehidupan sendiri. Impian untuk bisa hidup tenang dan nyaman di kamar tidur, kamar mandi, dan dapurnya sendiri. Kehadiran para sabahat setidaknya bisa memberi nuansa sejuk yang dibutuhkan Kaluna sepanjang perjalannya.

Keinginan Besar, Upaya Besar

Kaluna hadir sebagai gambaran nyata bahwa impian besar membutuhkan usaha yang lebih besar. Ada ego yang harus dikendalikan, ada hasrat yang harus ditekan. Apalagi di tengah lingkungan di mana orang-orang dengan mudah mengeluarkan uang untuk kopi di kafe yang sedang hype, sepatu branded, tas mahal, atau tiket konser yang menawarkan euforia sesaat.

Sebenarnya, sah-sah saja menikmati hal-hal tersebut. Namun, seperti Kaluna, saya juga percaya bahwa pengeluaran impulsif seperti itu bisa menjauhkan kita dari impian memiliki rumah hasil kerja keras sendiri.

Frugal atau Pelit?

Sering kali, gaya hidup hemat (frugal living) disalahartikan sebagai sikap pelit terhadap diri sendiri. Padahal, frugal living bukan sekadar berhemat, melainkan mengelola keuangan dengan bijak tanpa mengorbankan kualitas hidup. Prinsipnya adalah mengutamakan kebutuhan daripada keinginan, berbelanja secara cerdas, serta menghindari utang konsumtif yang tidak perlu.

Kesalahpahaman ini tergambar jelas dalam sikap pacar Kaluna yang menganggapnya pelit hanya karena ia memilih untuk tidak menonton konser, tidak mengganti mobil baru, atau tidak membeli pakaian branded. Lebih menyedihkan lagi, ada stigma bahwa orang dengan gaji setara UMR seharusnya tidak bermimpi memiliki rumah sendiri. Seolah-olah, mereka tidak berhak berharap untuk hidup mandiri.

Memilih hidup hemat kadang jadi pilihan sulit, di mana pinjaman online kian mudah diakses dengan menawarkan solusi instant dan beban dipikul kemudian.

Mandiri dari Milik Sendiri

“Aku ingin sesuatu yang jadi milik sendiri, bukan menyewa.” Kata-kata Kaluna ini begitu mengena. Ia menolak tawaran sahabatnya untuk menyewa apartemen karena itu bertentangan dengan impiannya untuk memiliki rumah sendiri.

Berbeda dengan Kaluna, saudara-saudaranya memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tua tanpa memikirkan biaya listrik, air, atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Semua tanggung jawab itu justru dibebankan kepada Kaluna. Tekanan fisik dan mental yang terus ia hadapi akhirnya mempertegas keyakinannya bahwa ia tidak ingin selamanya dimanfaatkan. Ia ingin mandiri, memiliki kendali atas hidupnya sendiri, tanpa harus menjadi beban bagi keluarga.

Home Sweet Loan: Representasi Kehidupan Si Tulang Punggung

Film ini begitu menguras emosi saya karena kisah Kaluna sangat relate dengan perjalanan hidup saya. Meskipun tidak sama persis, ada benang merah yang menghubungkan kami. Kami sama-sama memiliki impian yang dianggap terlalu tinggi, sama-sama pernah menekan keinginan demi menabung, dan merasakan dualitas peran keluarga—di satu sisi mendukung, di sisi lain justru menjadi beban.

Kami sama-sama didesak keadaan untuk menjadi sandaran tanpa pernah ada yang bertanya apakah kami mau dan cukup kuat. Apakah kami lelah dan butuh istirahat sejenak? Kami juga pernah mengalami dilema antara memikirkan kepentingan sendiri dan memenuhi harapan orang lain. Kadang, menyenangkan diri sendiri terasa seperti hal yang mewah karena hidup kami seolah-olah bukan milik kami sendiri.


Sore tadi, sambil menikmati secangkir teh hangat, saya memutuskan untuk menuliskan ini—sebuah refleksi dari emosi yang muncul sepanjang dan setelah menonton Home Sweet Loan. Film ini hadir di waktu yang tepat, di tengah ketidakpastian ekonomi yang membuat banyak orang ragu apakah mereka bisa memiliki rumah sendiri.

Namun, satu hal yang pasti: harapan itu selalu ada, selama kita tidak berhenti berjuang untuk mewujudkannya.

Leave a Comment