Insight Yoga di Hari Jadi Si Guru

Loving the Wounded Soul
#jurnalmega

jurnalmega.com – Hari ini, tepat di tanggal lahir guru kami, dia memberikan 3 tantangan ke kami para muridnya. Hadiahnya sebuah buku best seller ‘Loving the Wounded Soul’ karya Kak Regis Machdy.

Para pemburu buku-buku bagus pasti tau buku yang satu ini jadi salah satu yang terlaris di toko buku. Judulnya aja udah menyentuh ya. Kalau diterjemahkan artinya ‘Mencintai Jiwa yang Terluka’.

Sebelum ngasih tau 3 challenge yang harus kami penuhi demi buku itu, saya mau cerita sedikit tentang guru kami.

Puspa Anom, perempuan Bali yang lahir ke bumi hari ini, 5 April. Dia yang jatuh cinta pada yoga sejak tahun 2018. Yoga menghadirkan ragam perjalanan baru dalam hidupnya. Ragam rupa kejadian dialaminya hingga tiba di titik ini menjadi guru yoga di hadapan kami.

Saya pribadi suka ikuti sesi meditasinya. Dari kelas itu pun saya jadi tau begini ya cara kita menyapa jiwa di dalam diri kita. Jiwa yang bahkan jarang kita pedulikan, jarang kita tanyai perihal kabar dan tentang apa saja yang dirasakannya. Abai ya mungkin itu sebutan yang tepat.

Sejak hari itu, meditasi menjadi satu ‘kebutuhan’ bagi saya secara pribadi. Perihal meditasi sudah sempat saya ulas di tulisan sebelumnya -> 5 Manfaat Meditasi.

Kembali ke 3 Challenge yang diberikannya antara lain:

  • Mesti hadir di kelas Selasa sorenya di Ening Yoga, Pecatu-Bali.
  • Kami diminta mengungkapkan Esensi yoga menurut kami.
  • Memeragakan pose yoga berikut maknanya.
Esensi Yoga
#jurnalmega

Esensi Yoga

Bagi saya, yoga membawa 2 manfaat khusus secara fisik dan mental.

Bicara tentang fisik tentu tak jauh dari penyakit dan rasa tidak nyaman yang menjangkiti kita dalam kurun waktu tertentu. Saya pribadi sempat bermasalah dengan sinusitis akut.

Awal mula mencoba kembali beryoga di tahun 2021 setelah cukup lama terjeda. Kondisi sinusitis yang meradang membuat saya dilanda flu berat setiap hari, rasa nyeri di area wajah sampai kepala sulit digambarkan. Beberapa gerakan yoga dengan posisi kepala di bawah membuat saya makin tidak nyaman.

Bagi kalian yang pernah mengalami sinusitis pasti bisa relate dengan apa yang saya maksud tidak nyaman. Cairan di sekitar hidung, belakang wajah, hingga kepala kompakan meronta. Sempat terpikir untuk berhenti yoga, namun beruntung urung saya lakukan.

Selain sinusitis, serangan asma, dan kondisi haid tidak lancar berangsur membaik. Meski belum hilang 100%, tapi ada dalam kondisi terkontrol sudah cukup menyenangkan bagi saya.

Dari sisi mental, yoga membantu saya mengendalikan kebiasaan overthinking. Menyadari napas saat melakukan asanas ternyata bermanfaat ganda.

Bukan hanya fokus, namun juga menggiring kembali pikiran yang kerap melompat untuk kembali ke ‘sarangnya’.

“Hadir saat ini, di sini, di tempat ini,” kata-kata yang kerap guru kami ucapkan.

Setiap kali pikiran hendak melompat , segera sadari napas dan kembali ke saat ini. Kebiasaan yang ternyata cukup membantu kebiasaan berpikir berlebihan dan menjadi jauh lebih rileks dan menerima.

Selain itu, yoga mendidik saya untuk menghargai sebuah proses. Bukan hanya tentang pencapaian pose tertentu, tapi tentang tahapan menuju ke sana.

Ya, kadang saking sibuk mengejar hasil, membuat kita tak lagi memedulikan pentingnya menghargai proses. Padahal mana ada hasil tanpa dilalui proses demi proses yang melihat lebih banyak ke dalam diri.

Pose Yoga dan Benefit

Diantara ragam pose yoga yang sudah pernah dipraktekkan, ada 3 pose yang paling berkesan.

Pertama, Headstand (Sirsasana)

Pose ini menantang rasa takut dalam diri saya. Setelah beberapa bulan beryoga saya baru punya keberanian untuk mencoba. Bagi saya meletakkan kepala di bawah itu sama saja seperti nerjunin diri ke dalam jurang.

Eits, ini jujur lho. Saya butuh untuk meyakini diri berulang kali untuk berani melakukan dan bilang di diri sendiri, “Aman kok, yuk coba.”
Meski belum sempurna, tapi saya menghargai diri saya yang sudah mau ambil risiko untuk mau mencoba ‘terjun ke jurang’.

Secara medis pasti sudah banyakyang tahu Sirsasana juga membantu menyeimbangkan sistem endokrin, membawa darah segar mengalir ke otak. Membantu mengaktifkan kelenjar pituari (kelenjar produsen) sebagai pengendali berbagai aspek tubuh manusia dan kelenjar pineal yang berperan menimbulkan kantuk.

Nah, bagi yang kerap alami insomnia, bisa jadi ada gangguan pada fungsi kelenjar pinealmu….

Filosofi lain tentang Headstand

Pernah mendengar kata kesetaraan? Bukan gender aja yang perlu kesetaraan, fungsi tubuh pun sama.

Yup, itu yang saya rasakan saat melakukan pose ini. Posisi kepala di bawah menyadarkan saya bahwa ‘dia’ yang kerap di atas harus sesekali merasakan bagaimana rasanya berada di bawah. Menjadi tumpuan dan pijakan.

Sebaliknya, si kaki yang secara kodrat berada di bawah sebagai tumpuan seluruh tubuh, berhak merasakan bagaimana rasanya menjadi di atas, memimpin organ yang ada di bawahnya.

Dengan bertukar peran sekitar 60 detik mereka (si kepala dan si kaki) akan merasakan bahwa tubuh ini adalah satu kesetaraan. Tidak ada yang lebih penting dari yang lain, semua berfungsi, semua punya arti. Meski satu di bawah dan yang lainnya di posisi sebaliknya.

Kedua, Camel Pose (Ustrasana)

Posisi ini jadi pose yang bikin saya paham tentang membuka dada (open chest).

Ternyata pose ini cukup jitu untuk membantu proses pelepasan (releasing) atas segala yang menumpuk di hati dan perasaan. Rasa penuh sesak di dada perlahan luruh.

Pose ini juga yang membuat saya menangis, entah karena apa. Seperti ada yang keluar dan lepas dari tubuh, lalu sesenggukan setelahnya. Sungguh satu bentuk pelepasan yang dahsyattt.

Ketiga, Ragam Posisi Twisting

Posisi ‘twist’ bagi saya merupakan cara ‘melatih kelenturan’. Bukan hanya fisik, tapi sikap dan sifat kaku dalam diri. Gerakan twisting seperti, Parivrtta Trikonasana (Revolved Triangle), Marichyasana, Bharadvaja, Ardha Matsyendrasana, melatih flexibilities tubuh.

Gerakan yang cukup membantu pelenturan tubuh dan jiwa-jiwa kaku.

Ening Yoga, Pecatu, Bali #jurnalmega
Ening Yoga, Pecatu, Bali #jurnalmega

Buku Loving the Wounded Soul dan Sebuah Janji

Bu Guru Puspa memberikan buku itu pada saya. Hmmmm, bukan karena jawaban di atas ya, tapi karena upaya saya menahan headstand lebih lama 🙂

Tapi saya yakin, sesuatu pasti hadir bukan karena kesengajaan meski ujung-ujungnya didapuk buat resensi pasca membaca. Tak apalah ya, karena resensi kerap saya buat untuk mematri bacaan supaya tidak berlalu begitu saja dan terlupakan.

Terima kasih ya Bu Guru Puspa, penulis buku Loving the Wounded Soul, Kak Regis Machdy, teman-teman di Ening Yoga. Ini baru sekelumit kisah yang masih akan bersambung.

Happy Healthy Fasting, Selamat berbagi berkah buat sesama terutama jiwa di dalam diri kita. ^-^

 

 

 

Leave a Comment