jurnalmega.com, Mengapa puasa kerap dikaitkan dengan maaf memaafkan?
Apa karena kata ‘maaf’ itu muncul setelah ada amarah yang muncul tanpa kendali lalu mengacaukan puasa itu sendiri?
Sejak kecil, orangtua dan guru mengaji kerap berkata,
“Kalau lagi puasa jangan marah-marah, jangan nagis nanti puasanya batal.”
Lama kelamaan saya mulai merasakan keganjilan dan ketidakselarasan dalam kata-kata itu.
Tidak boleh marah? Tidak boleh nangis? Padahal keduanya sama-sama manusiawi yang sangat mungkin dilakukan meski kita sedang berpuasa atau pun tidak.
Apakah lantas puasa membuat kita jadi individu yang jauh dari kemanusiawian seorang hamba? Atau justru puasa membuat kita ‘menekan dan menahan’ rasa marah dan sedih agar tak membatalkan puasa?
Menekan amarah yang akhirnya menumpuk sampah emosi dalam batin. Itu ibarat menyimpan bom waktu untuk meledak di suatu waktu.
Kemudia setelah menekan amarah dan puasa lancar, kita rayakan hari kemenangan. Lantas kemenangan yang seperti apa itu? Kemenangan karena berhasil menekan dan menahan marah dan sedih itu? atau kemenangan sejati karena kita sudah betul-betul memaafkan seutuhnya?
Insight Memaafkan
Ragam pertanyaan itu tak mungkin saya jawab sendiri. Akhirnya saya terdorong untuk menghubungi beberapa kenalan. Mereka adalah orang-orang yang berkecimpung di dunia healing therapy.
Beberapa diantaranya merupakan praktisi yoga dan tentunya guru yang membersamai proses latihan saya sehari-hari.
Setelah ngobrol dan menyatakan keingian untuk membedah tentang ‘memaafkan’ saya mendapati beberapa insight berikut:
Memaafkan dari Sudut Pandang Seorang Life Coach
Pertama, saya ngobrol dengan Kak Agustinus Gibran, atau yang akrap dipanggil Kak Tinus. Dia seorang Professional Life Coach.
“Bagi saya Memaafkan adalah sebuah proses perjalanan diri dalam menerima suatu kondisi atau situasi dari sebuah peristiwa yang membuat diri saya merasa tidak nyaman, bisa itu karena tidak sesuai ekspektasi, atau suatu kejadian yang membuat saya merasa tidak nyaman dan trauma.
Proses memaafkan bukan tentang orang lain, memaafkan dimulai dari dalam diri. Memaafkan diri sendiri atas ketidaktahuan sehingga hal yang membuat diri ini tidak nyaman terjadi. Memaafkan diri sendiri mengalami apa yang sebetulnya tidak diinginkan hadir.
Memaafkan diri sendiri untuk mengakui apa yang dirasakan, sehingga diri ini bisa berterima atas kejadian yang tidak menyamankan tersebut. Barulah setelah semua proses tersebut mengalir di dalam kehidupan saya sebagaimana mestinya di waktu yang sudah tepat.
Saya baru bisa memaafkan orang lain atau hal-hal yang berada di luar diri saya, termasuk segala hal yang tidak bisa saya kontrol. Sehingga, bagi saya Memaafkan adalah sebuah proses pendawasaan diri dalam perjalanan menemukan jati diri sesungguhnya atas kejadian yang tidak membuat diri ini nyaman.”
Kak Tinus juga menyebutkan di laman blognya kalau proses memaafkan muncul dari sebuah gejolak yang kita sebut marah. Marah tak hadir begitu saja, pasti ada hal-hal yang melatarinya.
Menurutnya ada 3 hal kenapa orang bisa merasa marah;
Wanting to Approve, Wanting to Control, Wanting to Survive
“Kalau buat saya pribadi, karena memang saya merasa orang yang dominan, keinginan mengendalikan yang besar, sehingga jika dalam suatu kondisi saya merasa tidak bisa mengontrol sesuatu, saya akan merasa marah. Itu dulu, sekarang? Nafas aja!
Karena rasa marah hanyalah sebuah tameng bagi mereka yang merasa lemah. Yes, Tameng sebuah pelindung dimana merasa harus bertahan dengan apa yang dirasa mengganggu, padahal sebenarnya di balik rasa marah itu.
Ada berbagai rasa yang menjadi dasar atau akar, seperti: Rasa Sedih, Rasa Kecewa, Rasa Ditinggal. Rasa Tak Berdaya, Rasa Dimanipulasi, dan Rasa-rasa lainnya yang mengganggu.”
Jadi, ada baiknya untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Kiranya apa yang membuat kita marah, apa yang menjadi akar dari kemarahan itu. Dan untuk menjawabnya dibutuhkan kesadaran penuh.
Memaafkan dari Kacamata Seorang Praktisi Healing
Insight kedua saya dapat dari seorang praktisi healing. Redi Supradiyanto, akrab dipanggil Pak Redi. Beberapa bulan lalu saya pernah mewawancarai beliau untuk sebuah artikel media nasional berjudul ‘Kesadaran Diri Jadi Penentu Keberhasilan Proses Pelepasan Emosi’
Dengan beliau saya kerap membahas hal-hal yang awalnya terasa rumit, namun seringkali dijabarkannya dengan begitu sederhana tanpa mengurangi arti. Salah satunya tentang memaafkan.
“Pak, kenapa ada orang yang begitu sulit memaafkan?” pertanyaan saya pada Pak Redi beberapa menit sebelum pesawat beliau take off.
“Karena ada rasa dendam, kecewa, sakit hati, juga trauma. Anak-anak yang kerap di-bully pun akan menimbulkan luka batin yang kelak membuatnya sulit memaafkan,” jawab Pak Redi.
“Lalu apa yang mesti dilakukan agar bisa memafkan, Pak?” saya lanjut bertanya dengan penasaran.
“Cara memaafkan adalah dengan menerima kehendak Tuhan.”
Jawaban itu membuat saya terdiam. Kenapa kata penerimaan selalu hadir dalam tiap persoalan hidup manusia. Apakah penerimaan itu sebagai suatu simbol agar manusia kembali pada fitrah penciptaannya?
Esensi Memaafkan dari seorang Praktisi Yoga
Pendapat ketiga saya dapati dari guru yoga sekaligus narasumber tulisan saya yang senantiasa setia berbagi. Pak Putu Dwijendra, beliau pemilik Udaya Yoga Bali.
Kata Pak Putu, “Esensi memaafkan menurut saya adalah menerima mereka apa adanya segala kelebihan dan kekurangannya, melupakan segala kesalahannya dan memberikan cinta kasih yang murni.”
Energi cinta kasih menjadi hal utama dalam urusan maaf memaafkan. Ketika kita cinta atau mencintai seseorang tentunya kita dengan rela memberikan yang kita punyai demi membuatnya tersenyum kembali termasuk memaafkannya.
Tentang Memaafkan dari seorang Praktisi Ashtanga Yoga
Yang keempat ada guru saya dalam berlatih Ashtanga Yoga yaitu Pak Kadek Ariadi, beliau selaku pemilik Ening Yoga di Uluwatu Bali.
Saya bertanya padanya, “Kenapa ya Pak kok susah sekali memaafkan. Padahal di bibir sudah terucap maaf, tapi kok belum bisa melupakan apa yang dilakukan orang tersebut ya?
Nah, ada yang pernah mengalami hal yang sama….?
Kalau menurut Pak Kadek, “Sulit memaafkan bisa jadi karena kita suka menyimpan atau memendam suatu kesalahan yang pernah seseorang lakukan dan tidak mau melepaskannya. Ego dan tidak mau instrospeksi diri mungkin penyebabnya, di mana kita selalu merasa diri paling benar.”
Menariknya, Pak Kadek menyinggung tentang ego. Hmm ternyata sulit memaafkan bukan karena faktor luar diri, tapi justru dari diri kita yang menggenggam kuat ego kita itu.
Kesimpulan
Dari empat padangan tentang memaafkan saya lantas mengintisarikan bahwa memaafkan adalah tentang bagaimana kita menyikapi sesuatu.
Tentang bentuk penyadaran diri bahwa tak ada yang sempurna. Menundukkan ego, berdamai dengan diri, lalu menerima segalanya dengan ikhlas menjadi jalan arif yang membawa kita ke suatu hal yang disebut proses pertumbuhan secara batiniah.
Kalau kata Mas Adjiesantosoputro,
“Milikilah imunitas batin.”
Baca juga artikel tentang Berdamai Dengan Emosi
Itulah yang akan menjaga dan menyadarkan kita bahwa memaafkan tak membuat kita rendah justru menaikkan kita ke satu tahap pertumbuhan batin.
Tak heran kenapa Tuhan mengganjar mereka yang ikhlas memaafkan atas pahala yang besar karena proses berdamai dengan ego diri sungguh merupakan satu hal yang memerlukan energi dan kesadaran penuh.
Terima kasih para guruku. Insight dari kalian membuat saya sadar bahwa kita pun pernah berbuat salah, pernah membuat dan dibuat marah olah orang-orang di sekeliling kita.
Menjalani puasa dengan memahami dan belajar memaafkan dengan lebih berkesadaran.
Tulisannya sangat mengena karena kita bisa mengetahui sumber dari proses memaafkan👍
Wow cara penulis menyampaikan sangat renyah,sehingga enak di cerna.
keren 👍