jurnalmega.com – Pesan singkat dari ibu editor sore itu sontak membuat saya kebingungan. Dia menjadwalkan saya untuk live Liputan6.com dalam rangka perayaan hari Raya Galungan di Bali esok harinya.
“Wah, saya ngeliput di mana nih? Trus apa yang mau saya bicarakan. Saya nggak tau banyak tentang apa arti perayaan Hari Raya Galungan termasuk rangkaian acaranya,” batin saya.
Tapi, menolak bukan solusi karena harusnya ini jadi kesempatan untuk bisa menunjukkan perayaan Galungan ke hadapan publik. Saat itu saya coba untuk tenang, atur napas, supaya bisa berpikir jernih.
Pertama-tama saya mulai ambil beberapa foto tetangga yang sedang membuat penjor dan menanyai mereka beberapa hal. Seperti tentang rentetan persembahyangan pada hari perayaan, apa saja isi dari penjor yang sedang mereka buat, juga info tentang waktu persembahyangan.
Nah, dari obrolan itu saya dapati info kalau ternyata beberapa pura dekat rumah jadi tempat mereka sembahyang.
Tak cukup dengan itu, saya pun berusaha menghubungi beberapa guru yoga dan seorang dokter yang juga merupakan pengasuh Komunitas Rumah Semesta, Dokter Wayan Mustika begitu kami mengakrabi nama beliau.
Dari Dokter Wayan Mustika saya peroleh beberapa hal mendasar tentang makna rentetan acara peringatan Galungan dan Kuningan. Huffff… saya bisa sedikit menarik napas lega, karena informasi itu perlahan meretas kebuntuan. Sembari mengatur strategi untuk menyediakan video berdurasi 120 – 180 menit saya coba menuliskan informasi dari Pak Dokter.
Syukur, kurang dari 2 jam artikel terposting dan dijadwalkan terbit esok hari Rabu 8 Juni 2022 yang tak lain merupakan Hari perayaan Galungan.
Baca juga artikel tentang Kesenian di Bali
Tahapan Persembahyangan
Persembahyangan dimulai sejak matahari belum menyembulkan sinarnya. Mereka mulai dari pura di rumah masing-masing, dilanjutkan ke Pura Paibon atau Pura Ibu atau biasa disebut pura keluarga besar. Kemudian ke Pura Puseh, dan Pura Desa Adat. Urutan ini pun bersifat fleksibel dan mengikuti lokasi dari pura-pura tersebut.
Khusus bagi perempuan yang telah menikah, mereka laiknya menyempatkan waktu untuk bersembahyang di rumah tempat mereka berasal atau rumah saat masih gadis.
Bergerilya untuk Video
Jarum jam menunjuk angka 07.15, dengan berkebaya dan tak lupa membawa kartu pers saya awali perjalanan menuju Pura Puseh Desa Adat Ungasan, jaraknya tak sampai 5 menit dari rumah. Beruntung, hilir mudik pesembahyang mulai memenuhi pelataran pura.
Beberapa sudut yang menarik perhatian langsung saya bidik dengan mengikuti aturan ukuran foto dan video yang sudah diworo-woro Mas Wawan (kakak baik hati yang bertugas mengurusi Live di Liputan6.com) sejak sore kemarin.
Mencari Spot Terbaik untuk Live
Sembari berkeliling ke empat lokasi Pura Puseh Desa Adat Ungasan, Pura Desa Adat Ungasan, Pura Ibu Hyang Munang, dan Pura Dalem Desa Adat Kutuh saya mencari spot terbaik untuk Live pukul 12.00 wita. Akhirnya Pura Dalem Desa Adat Kutuh yang paling eye catching, spotnya asik, dan yang terpenting suasananya hening.
Sepuluh menit menuju Live, kami para narasumber mulai masuk untuk tes audio video dan saya sebagai penyampai berita di urutan keempat. Alhamdulillah Live Perayaan Galungan di Bali pun berlangsung baik, dan semoga yang mendengarkan bisa mendapat manfaat.
Esensi Galungan dan Kuningan
Selain Dokter Mustika, seorang guru yoga Pak Putu Dwijendra pun memberikan sebentuk pemahamannya tentang Galungan yang berarti hari kemenangan Dharma dari Adharma. Hari kemenangan kebenaran dari ketidak benaran.
Ini berarti kemenangan sang Budi yang bersemayam dalam diri melawan sang ego, di hari ini kemenangan dharma dirayakan dan disambut juga oleh para leluhur, mereka turun memberkati keturunannya yang ada di atas bumi melalui Rong tiga atau kemulan sanggah yang ada di masing-masing rumah keluarga, jika tidak punya kemulan maka mereka akan pulang kampung masing-masing sembahyang bersama-sama keluarga besarnya.
Sedangkan Kuningan adalah hari di mana para leluhur tersebut kembali kembali atas ke kahyangan.
Menilik insight dari Dokter Wayan Mustika yang menjabarkan Esensi Galungan dan Kuningan dengan bahasa khasnya. Masing-masing memberi makna yang berbeda terhadap perjalanan Galungan sampai Kuningan.
“Tyang sendiri memiliki cara membaca maknanya dengan berbeda,” kata Pak Dokter.
Sugihan Tenten
Kapan saja kita mulai tersadar, bangkit, bangun (enten) dari mimpi-mimpi duniawi yang maya ini, segeralah basuh wajah kita agar segar dan mampu melihat kehidupan ini secara lebih jernih.
Sugihan Jawa
Segera bersihkan semua hal di luar diri kita, palemahan dan parahyangan.
Sugihan Bali
Bila semua yang di luar sudah tampak bersih dan suci, lanjutkan untuk berproses membersihkan dan menyucikan diri sendiri.
Rahina Panyekeban
Mulai masuk ke dalam ruang hening, merenung dalam tapa brata, meresapi perjalanan diri selama 6 bulan terakhir kehidupan.
Rahina Penyajaan
Membuat jaja uli, jaja begina, satuh, iwel. Pesannya, temukan jati diri, agar tahu dari mana sesungguhnya kita berasal (jaja uli = uli dija sesajane), utk apa sesungguhnya kerja kita di bumi ini (jaja begina, apa sajane gegina di gumine).
Setelah memahami semua itu, maka bekal kesadaran itulah yang dibawa seumur hidup sebagai pegangan diri (satuh iwel; satuwuh maurip anggen gegambel).
Rahina Penampahan
Berbekal semua pemahaman yang kita bawa (nampa), maka kita lenyapkan kemalasan (tamas, babi) agar bisa melaksanakan semua kewajiban di kehidupan.
Rahina Galungan
Dengan menjalankan semua Dharma/kewajiban dengan benar, dari sana kita akan bisa berjalan menuju terang/galang; Ga-lungan.
Rahina Kuningan
Di puncak perjalanan pada hari yang sempurna (10) hari setelah Galungan, temuilah pengetahuan (kauningan) luhur di mana para leluhur (warisan sifat luhur) telah datang ke dalam batin kita, utk menjadi cemeti (tér) yang memotivasi kita kembali melangkah dalam dharma, berbekal (andong) pengetahuan (kauningan), sebagai perisai (tamiang) saat berhadapan dengan energi-energi gelap di kehidupan.
Apa itu Penjor
Sesajen dipersembahkan di kemulan atau sanggah masing-masing keluarga. Itu perlambangan Sang Naga yang menjaga keseimbangan Semesta Bumi kita.
Banten sodaan isinya berbagai macam kue, buah dan makanan yang kita nikmati isinya telur, ayam panggang, kacang saur, tape jaje uli, tum, sambal, dll. Sebagia penyambutan dan persembahan para leluhur hadir memberkati sehingga rejeki, kesejahteraan akan tetap mengalir untuk seluruh keluarga.
Insight Liputan Hari Raya Galungan
Dari liputan ini saya mendapati insight (alasan kuat) mengapa Bali begitu magis dan dirindui. Karena tiap laku masyarakatnya syarat makna dan filosofi.
Bersyukur akhirnya harapan bisa menulis tentang Galungan bisa terwujud. Matursuksma guru tyange, Dokter Wayan Mustika, Putu Diwjendra. Juga Bu Guru Puspa Anom dan keluarga besar yang sudah memberi jalan bagi proses peliputan ini.
1 thought on “Sebuah Cerita dari Balik Layar Peliputan Live Hari Raya Galungan”